Aneh! Pagi ini jalanan gak Macet (& Doa untuk Guru)

Iya, aneh juga sih. Keluar dari rumah, masuk ke jalan besar, gak biasa-biasanya jalanan gak macet. Bisa dibilang lumayan sepi lah. Ada apa gerangan ya, apa supir angkot lagi demo jadi gak narik? Apa ada jalan alternatif baru yang sudah dibuat. Tapi gak mungkin deh, secara ini medan getho loh!

Ternyata… eh… ternyata setelah diselidiki, ternyata hari ini adalah hari guru. Iya ya…. Sekarang kan tanggal 25 November. Loh, emang apa hubungannya hari guru dengan jalanan sepi. Ya ada dong. Karena hari guru, jadi ada upacara bendera. Dan mungkin anak-anak pada disuruh dateng jam 7 pagi semua. Biasalah, semua disuruh mempersiapkan acara. Jadinya, anak-anak sudah berangkat sekolah dari jam 6 tadi. Makanya supir-supir angkot yang biasanya bikin macet karena sesuka hatinya berhenti di pinggir jalan ngangkut dan nurunin anak sekolah, pagi ini tidak terjadi.

Ngomongin guru, mereka adalah orang-orang sangat aku hormati. Kalo diingat-ingat masa SD ku, kalo gak diajarin guru mana bisa aku membaca dan menulis. Kalo gak diajarin matematika, mana bisa aku berhitung. Jadi orang bodoh lah kita. Sekecil apapun peran guru, pasti mempunyai peran terhadap kehidupan kita sekarang ini.

TAPI SAYANG………. Masih banyak guru di negara ini yang terpinggirkan, tak dipedulikan, tak terjamah oleh kita yang tinggal di kota. Mereka-mereka itu lah sebenar-benarnya pahwalan tanpa tanda jasa. Mereka gak pernah menuntut gaji. Mereka gak pernah menuntut tunjangan walaupun sebenarnya mereka ingin. Mereka mengajar dengan tulus dari hati yang paling dalam hanya untuk kepandaian anak-anak bangsa.

Masih ingat Bu Muslimah, wanita nyata dalam film LASKAR PELANGI. Tentu sebagian besar dari kita sudah menonton film dan membaca novelnya. Bagaimana perjuangan seorang ibu marhamah untuk mendidik murid-muridnya. Tujuannya apa? Tujuannya hanya untuk menjadikan mereka anak yang pintar dan bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Hanya itu. Tidak ada tujuan yang lain dan imbalan yang diharapkan.

Ada 1 guruku yang sampai saat ini aku masih tetap ingat dia. Dia salah satu guru yang paling dan sangat aku hormati sampai sekarang. Beliau baik sekali, gak pernah mengeluh walaupun beliau tau kami sekelas bandel-bandel semua. Tapi ntah kenapa, dengan tangan dingin beliau berhasil mengendalikan kami dan membuat kami patuh dengan beliau. Namanya Bu Reni. Aku lupa nama lengkapnya. Beliau guru bahasa indonesiaku waktu aku kelas 2 SMA di SMA Negeri 3 Medan. Semoga Bu Reni tetap menjadi pahlawan pendidikan sejati ku.

Salam, demi kemajuan pendidikan bangsa ini dan perubahan taraf hidup para guru Indonesia.

BERAPA HARGA WAKTUMU AYAH?

Dapat dari teman di milis internal perusahaan. Gak tau sumbernya dari mana, tapi rupanya teman aku si Abie pernah nge-post ini jg tahun 2004 lalu. Bah! Lama jg rupanya. Ceritanya cukup menyentuh. Very Good Story..

-~~-
Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?” “Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”

“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya. “Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambilmenyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?” “Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”

“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis. “Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih.” “Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”

“Iya,iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut. “Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp
20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya
bocah kecil itu erat-erat dengan mata yang berkaca-kaca sedih!